Rabu, 21 Mei 2008

HUKUM SEBAGAI PANGLIMA

Oleh Zaldy Munir


TAK terasa, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun terus berlalu, dan kita antara sadar dan tidak. Selalu terombang-ambing ke sana dan ke sini dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan laksana lautan tanpa berpantai.

Adakalanya kita terlambat menyadari bahwa apa yang kita lakukan sarat dengan formalitas dan tidak memiliki kedalaman makna, yang lebih tragis lagi adalah perbuatan anak manusia itu adakalanya kontraproduktif terhadap permanusiaan itu sendiri.

Penegakan hukum misalnya, selalu menjadi prasyarat bagi sebuah demokrasi dan kemajuan. Tak ada sebuah negara atau pengurus kebijakan yang menyangkut kepentingan publik akan bisa berjalan dengan baik. Jika hukum masih compang-camping dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka sebuah negara akan menjadi mundur jika hukum digairahkan hanya demi hasrat kepentingan tertentu, apalagi kepentingan politik.

Sebab upaya penegakan hukum bila diboncengi oleh target-target kepentingan atau hukum hanya digunakan untuk mancari celah dan mendapatkan sesuatu. Maka sama artinya dengan membawa kita kembali kemasa lampau, orang pun mengibaratkan reformasi seperti bunga yang layu sebelum berkembang. Hal ini menjadi penting untuk diketengahkan, karena sejumlah catatan sejarah menjelaskan bahwa banyak sekali penegakan hukum dijadikan alasan untuk mencapai kepentingan, pembunuhan karakter dengan target menjatuhkan seseorang.

Perubahan penting yang berlangsung pada banyak negara diberbagai belahan dunia tidak dapat disangkal, selalu berawal dari perbaikan perangkat hukum. Revolusi Prancis yang berlangsung pada tahun 1789, adalah sebuah contoh munculnya gerakan rakyat yang akhirnya menjungkal Raja Louis XVI dari tahta. Sesunggunhnya bermula dari kerisauan masyarakat atas tidak berfungsinya hukum Raja, dengan hukum yang tidak berjalan bermetamorfosis menjadi sosok yang sewenang-wenang dan melakukan sesuatu dengan sekehendak hati. Lebih tragis, Raja mengumumkan bahwa hukum adalah apa yang ia lakukan, yang terkenal dengan ungkapan “Negara adalah saya.”

Kondisi ini membuat hukum menjadi alat kepentingan untuk malakukan apa saja yang diinginkan, sehingga dengan demikian segala tindakan amoral dan korupsi merajelela. Akibatnya negara menjadi kacau dan rakyat hidup dalam ketidakmenentuan.

Kita semua menginginkan negeri ini menjadi negeri yang manis, yakni sebuah negeri yang berjalan dengan koridor hukum yang baik dan tidak syarat kepentingan. Untuk mendapatkan ini, kita semua memang harus meletakkan hukum sebagai salah satu panglima bagi diri kita masing-masing. Jika tidak, maka kita akan terus tenggelam tanpa henti, tak terdamaikan dan akan terus terpuruk dalam waktu tanpa batas.

Thomas Hubbes pernah mensinyalir adanya kecendrungan manusia berperang melawan sesamanya dalam rangka memenuhi kepentingnannya (Bellum Omnium Contra Omnes, Homo Homini Lupus). Kecendurungan tersebut harus dikendalikan dan satu-satunya alat untuk itu adalah hukum. Bila kita tidak mengindahkannya, maka ingatlah pesan Hang Jebat !! “Raja adil raja disembah, raja zhalim raja disanggah...!” *

BAHAYA NAPZA

Oleh Zaldy Munir


NARKOBA atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan / psikologi seseorang (pikiran, perasaan dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA, yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.

Masalah pencegahan penyalahgunaan NAPZA bukanlah menjadi tugas dari sekelompok orang saja, melainkan menjadi tugas kita bersama. Upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan sejak dini sangatlah baik, tentunya dengan pengetahuan yang cukup tentang penanggulangan tersebut. Peran orang tua dalam keluarga dan juga peran pendidik di sekolah sangatlah besar bagi pencegahan penaggulangan terhadap NAPZA.

Narkotika menurut UU RI No 22 / 1997, Narkotika, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

PENYEBABNYA SANGATLAH KOMPLEKS AKIBAT INTERAKSI BERBAGAI FAKTOR :
1. Faktor individual : Kebanyakan dimulai pada saat remaja, sebab pada remaja sedang mengalami perubahan biologi, psikologi maupun sosial yang pesat. Ciri - ciri remaja yang mempunyai resiko lebih besar menggunakan NAPZA, seperti kurang percaya diri, mudah kecewa, agresif, murung, pemalu, pendiam dan sebagainya.

2. Faktor Lingkungan : Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan kurang baik sekitar rumah, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat, seperti komunikasi orang tua dan anak kurang baik, orang tua yang bercerai, kawin lagi, orang tua terlampau sibuk, acuh, orang tua otoriter dan sebagainya.

Faktor-faktor tersebut di atas memang tidak selalu membuat seseorang kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi, makin banyak faktor-faktor di atas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.

GEJALA KLINIS PENYALAHGUNAAN NAPZA
1. Perubahan Fisik: Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif. Bila terjadi kelebihan dosis (Overdosis) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, bahkan meninggal. Saat sedang ketagihan (Sakau) : mata merah, hidung berair, menguap terus, diare, rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun. Pengaruh jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak perduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi keropos, bekas suntikan pada lengan.

2. Perubahan sikap dan perilaku : Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas sekolah, sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab. Pola tidur berubah, bergadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat kerja. Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang tanpa ijin. Sering mengurung diri, berlama-lama di kamar mandi, menghidar bertemu dengan anggota keluarga yang lain.

Sering mendapat telpon dan didatangi orang yang tidak dikenal oleh anggota keluarga yang lain. Sering berbohong, minta banyak uang dengan berbagai alasan, tapi tidak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau keluarga, mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi. Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, pemarah, kasar, bermusuhan, pencurigaan, tertutup dan penuh rahasia.

UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
Upaya pencegahan meliputi : mengenali remaja resiko tinggi penyalahgunaan NAPZA dan melakukan intervensi. Upaya ini terutama dilakukan untuk mengenali remaja yang mempunyai resiko tinggi untuk menyalahgunakan NAPZA, setelah itu melakukan intervensi terhadap mereka agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.

Komunikasi dua arah, bersikap terbuka dan jujur, mendengarkan dan menghormati pendapat anak. Memperkuat kehidupan beragama. Yang diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua memahami masalah penyalahgunaan NAPZA agar dapat berdiskusi dengan anak. *

HOME SCHOOLING (Sekolah Rumah untuk Kembangkan Potensi Anak)

Oleh : Zaldy Munir


Pendahuluan
Home Schoolong merupakan pendidikan alternatif yang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yakni Program Kesetaraan Nasional. Kurikulumnya pun sama dengan Diknas, namun pola pendidikan melalui model 'home schooling'.

Pendidikan ini dirancang untuk membantu anak-anak kurang mampu. Mereka bisa belajar di sini dan mendapatkan ijasah, 'home schooling' adalah metode baru dalam dunia pendidikan, di mana para murid tidak diharuskan masuk kelas, tetapi cukup mengikuti proses belajar mengajar dengan kendaraan mobil dinas. Bahkan, guru-guru siap membantu mereka yang mengalami kesulitan belajar.

"Home schooling menjemput anak untuk sekolah, bukan anak yang datang ke sekolah. Tetapi guru datang ke anak. Model Sekolah Rumah Home Schooling terus mendapat perhatian dari para praktisi pendidikan hingga orang tua. Model pendidikan ini dianggap lebih “manusiawi” bagi peserta didik dibanding pendidikan formal yang ada. Di sisi lain, standar materi dan pola pengajaran masih menimbulkan tanda tanya. Benarkah Sekolah Rumah merupakan pilihan terbaik di tengah kebimbangan akan mutu pendidikan formal di negeri kita?

Hak anak untuk mendapat pengajaran harus diperhatikan. Para orang tua harus bijaksana dalam melihat dan memperlakukan anak sebagai sebuah pribadi unik yang perlu dihormati. Kurikulum sekolah rumah yang disusun bersama berdasarkan acuan yang ditentukan Depdiknas akan memunculkan motivasi belajar pada anak. Belajar sepanjang hari tidak menjadi beban karena dibalut dalam kemasan bermain. “Anak-anak jadi senang belajar dengan motivasi internal, yaitu motivasi dari anak itu sendiri. Sehingga kegiatan belajar home schooling ini bisa dimana saja dari bangun tidur sampai tidur lagi. Terpenting, anak-anak dilibatkan untuk menyusun kurikulumnya dan mencari sumber belajar.

Di samping itu, memindahkan anak-anak dari sekolah secara permanen menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara home schooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk menentukan kelulusan.

Belajar tiga tahun di sekolah menengah seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah. Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya, apa jadinya anak-anak bangsa di masa depan?

Sejatinya, pemenuhan hak atas pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua education for all.

Pembahasan
Model Pembelajaran yang Kondusif
Pilihan untuk menyelenggarakan sekolah rumah oleh orang tua memang harus memiliki dasar kuat. Model pembelajaran yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anak harus menjadi sebab utama pilihan tersebut.

Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, seperti dikutip dari sebuah situs internet, sekolah rumah merupakan proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana kondusif. Proses ini memiliki tujuan, yaitu agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.

Beberapa alasan menyebabkan orang tua memilih sekolah rumah. Di antaranya dapat menyelenggarakan pendidikan keagamaan secara lebih intensif, menciptakan suasana pembelajaran yang baik serta pembelajaran dapat diatur sesuai kebutuhan dan situasi saat itu.

Model sekolah rumah ini juga terlihat unggul karena kegiatan pembelajaran dilakukan secara lebih mendalam, terangkai dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, waktu belajar yang luwes disesuaikan dengan keinginan dan kesiapan orang tua dan anak yang bersangkutan.

“Menyelenggarakan sekolah rumah menuntut kemauan orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan dan memelihara minat dan antusiasme belajar anak. Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orang tua, kerja sama antaranggota keluarga dan konsisten dalam penanaman kebiasaan,” ujarnya.

Pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Arief Rahman Hakim menyebutkan tiga syarat penting yang harus dimiliki orang tua untuk menjalankan sekolah rumah. Pertama, syarat akademis dengan memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis yakni mempunyai jiwa pendidik. Ketiga, syarat Pedagogis atau keahlian menularkan pengetahun kepada orang lain juga menjadi hal penting. Pelaksana sekolah rumah juga dituntut memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.

Kak Seto pun segendang sepenarian. Menurutnya, praktek sekolah rumah memang tidak segampang yang dibayangkan. Jangan sampai terjadi, penyelenggaraan sekolah rumah hanya sebagai aksi gagah-gagahan saja. Orang tua yang akan menjalankan model sekolah rumah dituntut memahami dengan baik arti pendidikan.

“Makna pendidikan adalah memberdayakan potensi unggul yang dimiliki setiap anak yang saling berbeda. Orang tua harus memiliki komitmen terhadap pelaksanaan sekolah rumah itu. Mereka harus mempelajari kurikulum, menjabarkannya secara kreatif sesuai kondisi anak. Mampu menjalin kerja sama yang baik dengan anak maupun pihak-pihak lain termasuk jaringan sekolah rumah,” katanya membagi resep menyelenggarakan sekolah rumah.

Diakuinya pula, ada beberapa mitos keliru yang berkembang di masyarakat soal sekolah rumah ini. Misalnya anak menjadi kurang mendapat kesempatan sosialisasi dengan teman, orang tua harus menjadi guru dengan pengetahuan yang luas, waktu belajar yang tidak sepadan dengan sekolah formal, anak menjadi tidak disiplin, tidak bisa memperoleh ijazah formal, anak kurang mampu berkompetisi serta tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah formal yang lebih tinggi. Ditambah lagi sekolah rumah mensyaratkan biaya operasional yang tinggi alias mahal.
Namun Kak Seto menampik kebenaran isu itu dan menyebutnya sebagai kekeliruan. Belajar Bersama Hal penting yang harus dipegang teguh betul oleh orang tua saat menyelenggarakan sekolah rumah adalah memahami anak. Saat belajar, orang tua harus menjadi teman belajar bagi anak. Anak harus dipahami sebagai pribadi unik, otentik dan bukan orang dewasa mini. Pada usia itu, anak perlu bermain. Karenanya, orang tua tidak boleh arogan dengan memposisikan sebagai guru. Orang tua harus mengembangkan konsep belajar bersama dengan anak.

Berkaitan dengan materi pembelajaran, orang tua juga harus mau membuka diri dengan menambah pengetahuannya. Namun hal ini tidak mengharuskan orang tua menguasai semua jenis ilmu pengetahuan. Jika diperlukan, mereka dapat mendatangkan guru untuk mata pelajaran yang bersangkutan dan belajar bersama dengan anak. Dengan demikian anak merasa memiliki sahabat saat belajar dan tidak merasa rendah diri.

Materi pembelajaran sekolah rumah, lanjut Kak Seto, sebaiknya mengacu pada standar kompetensi Depdiknas. Hal ini dimaksudkan agar sesuai dengan perkembangan anak dan dapat mengikuti evaluasi dan ujian hasil belajar yang diselenggarakan Depdiknas secara nasional. Standar kompetensi ini menjadi panduan tentang kemampuan akademis yang harus dimiliki anak pada kelas tertentu.
Evaluasi terhadap hasil kegiatan belajar anak dalam sekolah rumah dapat dilakukan lewat ujian Paket A setara Sekolah Dasar (SD) atau Paket B Setara SMP. Bahkan, menurut Kak Seto, evaluasi dapat dilakukan dengan menginduk pada sekolah formal. Alasannya, sekolah rumah juga diatur dan sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Sesuai UU Sisdiknas, pendidikan non formal dapat menjadi pengganti, penambah atau pun pelengkap pendidikan formal. Sedangkan satuan pendidikan non formal itu bisa berbentuk lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim dansatuan pendidikan sejenis.

Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) saat ini sedang menyusun acuan penyelenggaraan pendidikan alternatif dan sekolah rumah home schooling. Hal ini, tambah Ella, dikarenakan sekolah tidak selalu bisa merambah seluruh komunitas terutama masyarakat marjinal, etnis minoritas, masyarakat terisolir secara geografis atau mereka yang memiliki keyakinan tertentu.

Home Schooling" Alternatif Pendidikan Non-formal dan Beberapa Klarifikasi Format Home Schooling
'Home Schooling' menjadi alternatif pilihan pendidikan nonformal bagi anak-anak yang enggan belajar secara formal di kelas. "Pendidikan ini dapat dilakukan di mana saja dan membuat anak merasa bebas tanpa ada paksaan," kata Pendiri Home Schooling Kak Seto atau nama lengkapnya Seto Mulyadi. Dia mengatakan keputusan untuk mengikuti home schooling ini haruslah sepenuhnya dari keinginan anak, tanpa paksaan dari orang tua.

Menurut dia, kesuksesan untuk dapat menjadi guru yang baik bagi anak-anak adalah dengan cara bersabar, mengajarkan tanpa paksaan, dan dengan bahasa yang lembut. "Tidak perlu dengan paksaan dan suara tinggi. Lakukan dengan senyum, maka mereka akan senang," katanya. Dia mengatakan ada beberapa klarifikasi format home schooling yang diperkenalkan, yakni home schooling tunggal yang hanya dididik oleh orang tua, home schooling majemuk yang dilaksanakan dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.

Dan terakhir, dia menyebutkan komunitas home schooling yang merupakan gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan mengajar, kegiatan pokok seperti olahraga, musik dan seni, serta sarana dan jadwal pembelajaran.

Salah seorang murid Kak Seto yang juga memiliki home schooling untuk balita, Shelomita, mengatakan terkadang orang tua tidak yakin dapat menjadi guru yang baik bagi putra-putrinya sendiri. Menurut Shelomita, pada awalnya dia juga merasa khawatir apakah mampu untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Namun, akhirnya dengan kepercayaan diri sanggup menjadi guru sekaligus orang tua bagi anak-anaknya. Alasan dia membuka home schooling untuk balita, yaitu ingin memberi kebebasan pada anak-anak, tapi tetap dapat belajar.

Sekolah Rumah, Siapa Mau Coba?
Seto Mulyadi atau Kak Seto sudah lama mempraktekkan home-schooling atau sekolah rumah bagi anak-anak. Konsep sekolah rumah memang unik. Menurut Kak Seto, keluarganya menerapkan sekolah rumah bagi anak-anaknya sejak tiga tahun lalu. Awalnya, Minuk, anak pertama, mengalami tekanan di sekolah karena dihukum gurunya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama favorit di Jakarta.

“Lalu dia menyampaikan pada ibunya. Mula-mula dipaksa ibunya. Tetapi tetap tidak mau, dan mengatakan lebih baik saya ke sekolah tapi tidak belajar, atau saya di rumah tapi saya belajar? Akhirnya, ya sudah, dengan mengingat hak anak, mengedepankan yang terbaik bagi anak, akhirnya saya beri kesempatan Minuk tetap berada di rumah. Tetapi dia menjalankan aktivitas belajarnya,” Kak Seto menjelaskan ihwal mula mempraktekkan sekolah rumah.

Menurut Kak Seto, berkat konsep sekolah rumah dengan kurikulum yang disusun bersama, motivasi belajar muncul dari dalam diri putrinya. Belajar sambil bermain, membuat anak merasa nyaman, meskipun belajar sepanjang hari.

“Anak-anak jadi senang belajar dengan motivasi internal, motivasi dari anak itu sendiri. Sehingga kegiatan home schooling ini, jika ditanya kapan belajarnya, dari bagun tidur sampai tidur lagi. Di mana belajarnya? Di mana saja! Bisa di kamar tidur, ruang tengah, kamar tamu, di halaman, atau juga di luar. Entah pergi ke sawah, ke panti asuhan, penitipan bayi-bayi telantar, sampai mungkin juga belajar di mall. Tapi yang penting, anak-anak dilibatkan untuk menyusun kurikulumnya, mencari sumber belajar,” Kak Seto menambahkan.

Bagi Dhea, belajar di rumah sangat menyenangkan. Ia mengaku ingin terus belajar di rumah sampai menyelesaikan pendidikan setara sekolah menengah umum. “Kayaknya, seterusnya sampai SMP, SMA, sampai kapan aja gitu. Aku pingin home schooling. Soalnya waktu itu ngeliat Kak Minuk, terus jadi gimana gitu. Sekolah formal, aku takut! Kayaknya, Kak Minuk sampai stres waktu itu. Waktu kelas SMA, kayaknya, sempet stres. Terus aku nggak mau, mau terus home scholing aja,” tutur Dhea.

Bagi kebanyakan orang, menempuh pendidikan formal masih merupakan pilihan utama. Bahkan, lembaga pendidikan formal yang tergolong favorit masih jadi incaran kebanyakan siswa dan orang tua. Vanny, misalnya. Siswa SMU 70 Jakarta Selatan ini tetap memilih belajar di sekolah formal. Bagi dia, masuk salah satu SMU favorit di Jakarta merupakan cita-citanya sejak dulu. Dengan masuk SMU favorit, Vanny berharap peluang untuk belajar di perguruan tinggi ternama akan lebih terbuka.

“Di rumah tuh gak punya temen, ya jadi gak bergaul aja. Trus biasanya kualitasnya kan beda kalau sekolah di rumah. Kalau di sekolah kan ada kurikulumnya, gitu. Kalo di rumah kan gak jelas, gitu. Gak mau karena kebanyakan sekolahnya di sekolah, bukan di rumah,” kata Vanny. Begitu juga Danista, rekan Vanny. Dia justru menikmati belajar di sekolah formal dan mengaku bosan tinggal di rumah. Dia sama sekali tidak ingin belajar di rumah. “Ngapain di rumah juga. Di rumah bosenlah,” jelasnya.

Randi, pelajar SMU yang lain, juga demikian. Baginya, belajar di rumah bukan hal yang menyenangkan. Kata Randi, ada hal yang tidak didapat di rumahnya, yaitu pertemanan. Baginya, sosialisasi dengan teman-teman di sekolah merupakan kebutuhan yang penting.
“Belajar di rumah ya gak enak aja. Kalo di sekolah formal gini, selain belajar, kayak ada pergaulannya, gitu....” kata Randi. Pemerintah sendiri mengakui keberadaan sekolah rumah sebagai salah satu jalur pendidikan yang sah. Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, Ella Yuleawati, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membuka banyak jalur pendidikan yang bisa ditempuh, termasuk sekolah rumah.

Tetapi Ella juga mengingatkan, untuk menjalankan konsep sekolah rumah, orang tua harus memiliki komitmen yang kuat. Banyak orang tua yang tidak memiliki komitmen yang kuat dalam mempraktekkan sekolah rumah, sehingga tidak membimbing anaknya secara maksimal. Kesibukan orang tua juga merupakan salah satu hambatan dalam mendidik anak.

“Saya katakan, itu pendidikan informal sekolah rumah, kalau masyarakat memilih itu, apakah betul? Itu tidak mudah loh. Sekarang ini mungkin orang sangat terkesima begini begitu. Berpikirnya mudah, kayak jadi trend seter, gitu. Kalau sekolah rumah, tinggal hati-hati. Saya sendiri belum tentu, memang saya belum tentu. Tapi, saya memang tidak bisa. Kan anak saya dua-duanya di ITB dengan bantuan sekolah formal,” kata Ella.

Mendidik sendiri anak di rumah bukan perkara gampang. Menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Arief Rahman Hakim, orang tua yang ingin menjalankan konsep pendidikan rumah harus memenuhi tiga syarat. Pertama, syarat akademis, yaitu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis, yaitu memiliki jiwa pendidik. Ketiga, harus memiliki syarat pedadogis, yaitu keahlian menularkan pengetahuan kepada orang lain. Selain itu, menurut Kepala Lab School di Rawamangun ini, praktisi sekolah rumah juga harus memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.

“Saya tidak mengatakan setiap orang itu bisa atau tidak, tapi kalau mau melaksanakan home schooling, ketiga syarat itu harus dipenuhi,” katanya. Kriteria seperti yang disampaikan Arief Rahman Hakim memang dimiliki Deviana, istri Kak Seto. Menurut Deviana, dia memiliki program yang jelas dan mendidik anaknya berdasarkan kurikulum nasional. Dia juga mengaku menerapkan sistem evaluasi untuk mengukur capaian yang ditempuh kedua putrinya. “Saya pakai cara saya sendiri. Sudah mengerti apa belum, misalnya, sambil bermain juga kadang mereka buat soal. Oh, mereka sudah mengerti soal ini. Kalau sudah bisa buat soal, berarti sudah mengerti. Jadi, mereka kadang membuat soal. Menyerapnya lebih dari yang diajarkan. Tidak formal pakai angka. Yang penting standarnya sampai, standar kurikulum nasional,” kata istri Seto Mulyadi ini.

Bagi Kak Seto, mempraktekkan sekolah rumah memang tidak gampang. Dia mengingatkan kepada semua orang tua yang akan menjalankan praktek sekolah rumah agar memahami benar makna pendidikan. Walaupun kini banyak kalangan kelas terdidik di Jakarta yang menerapkan sekolah rumah, dia mengingatkan jangan sampai sekolah rumah sekadar menjadi gagah-gagahan.

“Pertama harus memahami makna dari pendidikan. Bukan sekadar menjejalkan beragam informasi atau pelajaran kepada kepala yang seolah-olah kosong. Tapi makna pendidikan adalah justru mengeluarkan atau memberdayakan potensi-potensi unggul yangg dimiliki oleh setiap anak yangg saling berbeda. Kedua, punya komitmen, bahwa ortu yang jadi koordinator dan fasilitator dari kegiatan sekolah rumah. Penaggung jawab adalah tetap ortu. Berarti mempelajari isi kurikulum. Kemudian juga mencoba untuk menjabarkan secara kreatif sesuai dengan kondisi anak-anak yang saling berbeda. Kemudian harus mampu bekerja sama baik dengan anak maupun dengan pihak-pihak lain, termasuk jaringan sekolah rumah,” Kak Seto memberi kiat bagi orang tua yang ingin membuat sekolah rumah.

Sekolah rumah atau home schooling tampaknya sudah menjadi alternatif di tengah-tengah buruknya sistem pendidikan formal. Beberapa selebritas, seperti Neno Warisman, juga mempraktekkan sekolah rumah untuk anak-anaknya. Dewi Hughes yang belum mempunyai anak tapi peduli pada dunia pendidikan pun tertarik. Mereka bahkan membentuk Asa Pena, asosiasi sekolah rumah, sebagai wadah bertukar informasi sesama praktisi sekolah rumah.

Berbagai permasalahan yang terus-menerus menerpa sistem pendidikan nasional ? mulai dari kurikulum yang berganti-ganti, pro-kontra ujian nasional dan penentuan kelulusan, sistem penerimaan siswa baru, mahalnya biaya pendidikan dan masalah-masalah lain- menyebabkan banyak orang tua semakin ragu menyerahkan pendidikan anaknya kepada insitusi sekolah. Bahkan kondisi yang paling dikhatirkan para orang tua adalah ketidakmampuan sekolah dalam mangakomodir kemampuan unik masing-masing siswa secara individu, menyamakan semua siswa sehingga siswa-siswa yang menunjukkan perbedaan justru dikerdilkan. Hal ini tidak lain dikarenakan beban kurikulum yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu sehingga hampir tidak ada waktu untuk memberi perhatian lebih kepada perbedaan masing-masing siswa.

Para orang tua yang tidak puas dengan sistem pendidikan yang diterapkan sekolah, akhirnya mencari alternatif diluar sekolah formal. Salah satu metode pendidikan yang sudah banyak diterapkan diluar negeri, dan mulai banyak dilirik para orangtua di Indonesia adalah home schooling .

Homeschooling merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing. Teori multiple intelligent atau kecerdasan majemuk telah membuka mata kita bahwa ada begitu banyak cara untuk membuat anak-anak memahami suatu materi pelajaran. Kita harus menyadari bahwa anak-anak ini mungkin bisa belajar dengan sangat baik dengan cara mereka sendiri. Pada umumnya kita? pendidik, orang tua, dan sebagainya- hanya peduli pada kemampuan dalam arti yang paling tradisional dan akademis ? membaca, menulis, mengeja, IPA, IPS dan matematika dalam bentuk buku pelajaran dan lembar latihan standar serta belajar dengan cara duduk manis di dalam kelas dan mendengarkan guru berceramah. Padahal ada begitu banyak potensi dalam seorang anak yang tidak bisa dinilai hanya dengan cara-cara seperti itu. Hal-hal seperti inilah yang mendasari banyak orang tua untuk meng- homeschooling anak-anak mereka.

Homeschooling memberi banyak keleluasaan bagi anak-anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Seorang home schooler bisa saja hanya meluangkan beberapa menit mengerjakan lembar kerja matematika tetapi bisa berbulan-bulan asyik meneliti satu spesies serangga. Hal ini tentu saja tidak mungkin terjadi di sekolah formal.

Orang tua pun tidak harus menjadi orang yang tau segalanya untuk bisa meng- home school anaknya. Bahkan yang terpenting dalam home schooling adalah penanaman sikap mental belajar kepada anak-anak sehingga mereka bisa belajar dengan cara mereka sendiri serta belajar dari siapa saja dan apa saja. Mereka bisa belajar mencampur semen kepada tukang bangunan, belajar memerah susu kepada peternak sapi, belajar mengolah sawah kepada petani, belajar berjualan kepada pedagang, mereka bahkan bisa berdiskusi dengan para pakar ilmiah universitas ternama dunia serta bisa membantu para ilmuwan NASA untuk mempelajari batuan di mars dan berinteraksi dengan para astronotnya. Hal-hal tersebut sangat minim bisa dilakukan oleh siswa sekolah formal karena kesibukan mereka mengerjakan peer, belajar untuk ulangan, les dan sebagainya, yang belum tentu mereka nikmati secara aktif dari dalam hati mereka.

Satu pertanyaan yang sering muncul adalah, jika tidak bersekolah formal, lalu bagaimana dengan ijazahnya? Di Amerika, home schooling telah diakui secara formal dan masuk dalam undang-undang, sehingga untuk ijazah hampir tidak ada masalah. Sedangkan di Indonesia, kini telah dibentuk ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang dimotori tokoh-tokoh pendidikan nasional, seperti Kak Seto, M. Fauzil Adhim, Dewi Hughes, dan sebagainya, serta dibina Departemen Pendidikan Nasional bidang Pendidikan Luar Sekolah. Walaupun secara formal belum ada undang-undang yang mengatur home schooling, tetapi home schooler bisa mengikuti ujian persamaan yang diadakan oleh Depdiknas secara berkala. Bahkan ijazah dengan akreditasi internasional bisa diperoleh melalui lembaga-lembaga formal di Eropa dan Amerika melalui ujian jarak jauh.

Telah banyak tokoh-tokoh dunia lahir dari home schooling, seperti Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Agatha Christie, Thomas A. Edison, George Bernard Shaw, Woodrow Wilson, Mark Twain, Charlie Chaplin, Charles Dickens, Winston Churchill, K.H. Agus Salim, dan sebagainya. Seorang anak muda Amerika, Christopher Paolini (22 tahun), penulis novel laris Eragon (telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia), adalah seorang home schooler. Di usia 15 tahun, ia telah menyelesaikan home schooling setingkat SMU dan mendapatkan ijazah. Ia diterima di salah satu universitas di negaranya, tetapi ia memutuskan untuk tidak segera mengikuti perkuliahan karena waktunya ia fokuskan untuk menyelesaikan novel fantasi, Eragon. Novel ini terjual ribuan kopi di Amerika dan diangkat ke dalam layar lebar. Kini ia sibuk berkeliling mempromosikan novelnya dan sekaligus mempromosikan home schooling. Begitu banyak anak-anak home schooler yang berhasil di berbagai bidang. Jadi, home schooling ? Siapa takut ?

Sekolah-Rumah, Pilihan untuk Kembangkan Potensi Anak
Empat anak berjongkok mengitari gundukan tanah dan pasir di kawasan Sekolah Lanjutan Perwira Polri di Jakarta Selatan. Usianya tidak seragam, malah ada yang masih lima tahun.

Begitu air dituang, gundukan pasir itu longsor. "Ya,... rusak deh. Sayang, ya...," komentar seorang anak. Semua tampak antusias memelototi longsoran pasir.

"Ayo, bayangkan kalau ada orang yang tinggal di lereng gunung itu," kata Agus. Rupanya, terkait Hari Bumi, 22 April lalu, anggota Home schooling Kak Seto tengah belajar dengan tema terkait lingkungan hidup.

Sehari-hari anak-anak yang sedang menempuh pendidikan dasar itu, sesuai dengan namanya, home schooling atau sekolah- rumah, belajar di rumah masing-masing. Hanya dua kali seminggu mereka berkumpul di Knowledge Center Selapa Polri, Jakarta Selatan, untuk belajar berkelompok dengan tutor mereka. Tiga hingga empat anak bisa dikawal dua tutor. Tak ada ruang kelas yang sesak, apalagi membosankan lantaran mereka belajar di "pusat pengetahuan" yang dilengkapi toko buku, perpustakaan, kafe, dan internet.

Anak-anak juga tidak dipisahkan dalam kelas-kelas tertentu. Semua belajar bersama sesuai dengan tema pembelajaran yang diinginkan hari itu. Tentu saja tidak ada seragam sekolah. Siang hari giliran anak-anak yang sudah setara SMA mulai berkelompok. Mereka sedang sibuk mengerjakan proyek membuat herbarium, lalu dijadwal berangkat ke lapangan, yaitu ke sebuah panti jompo.

Ny Nur Indah Himawati dengan sadar memilih model sekolah-rumah bagi anaknya, Bintang Haikal (5). "Saya lihat kemampuan Bintang sudah lebih dari umurnya. Umur tiga tahun dia sudah bisa membaca, menggunakan komputer, kamera, dan handycam. Kalau masuk SD tidak diperbolehkan karena umurnya belum cukup. Lagi pula saya tidak bekerja dan mengurus Bintang sendiri. Jadi, saya punya waktu banyak untuk belajar bersama Bintang di rumah," tutur Nur Indah, yang tinggal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Menurut Munasprianto Ramli, ketua tutorial Home schooling Kak Seto, tutorial di komunitas tersebut untuk memperdalam materi akademis. Setelah itu, anak dan keluarga mengeksplorasi dan memperdalam materi sendiri di rumah.

Belajar di rumah bukan berarti tidak serius. Bintang Haikal, misalnya, punya jadwal belajar piano, Matematika, dan Bahasa Inggris. Sekarang, Ny Nur Indah sedang mencari kursus animasi atas permintaan Bintang.

"Saya hanya ingin potensi, minat, dan bakat Bintang berkembang. Hanya dengan homeschooling ini Bintang bisa akselerasi," ujar Nur Indah.

Belakangan, model sekolah- rumah mulai tidak asing dan menjadi pilihan orang tua. Di dunia maya, bertebaran berbagai blog, situs, dan mailing list tempat para homeschooler bertukar informasi; mulai dari perkembangan kegiatan anak-anak mereka sehari-hari hingga berbagai kurikulum atau materi.

Sekolah-rumah bisa dilaksanakan secara tunggal oleh keluarga itu sendiri atau bergabung dalam komunitas belajar. Komunitas yang telah terbentuk antara lain Morning Star Academy, Komunitas Home schooling Berkemas, Home schooling Kak Seto, dan KerLip. Ada pula asosiasi para homeschooler.

Belakangan, artis Dewi Hughes meluncurkan sekolah- rumah berbasis elektronik pertama di Indonesia, Hugheschooling. Selain pembelajaran dengan materi pendidikan akademik, juga disediakan materi non-akademik dalam bentuk exploration, advancement, dan project yang disesuaikan dengan bakat dan minat anak.

Sekjen Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Dhanang Sasongko mengatakan bahwa sekolah-rumah menjadi tren pendidikan saat ini. Konsep dari model pendidikan itu ialah mengedepankan perkembangan potensi, bakat, dan minat anak secara spesifik.

Penanganan individual
Anak mendapatkan penanganan secara individu. Mereka menyusun sendiri pembelajaran. Ada juga keluarga yang mengacu pada kurikulum tertentu, seperti Cambridge, dan kemudian memilih ikut ujian internasional. Mendidik anak dengan sekolah- rumah merupakan sebuah pilihan, tanpa bermaksud membuat tandingan sekolah formal.

Sekolah-rumah sendiri bukan tanpa segudang pertanyaan. Yang biasanya muncul ialah terkait sosialisasi anak dengan dunia luar dan legalitas. Bagi Dhanang, sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyarakat.

"Kita sering mengadakan kegiatan di luar, seperti ke pasar dan panti-panti. Itu untuk pendekatan mereka dengan masyarakat. Dalam pembelajaran, mereka juga tidak hanya diajar oleh orangtua atau saat di komunitas oleh tutor, sering kali mereka mendatangi langsung ahlinya," kata Dhanang.

Bagi Direktur Pendidikan Kesetaraan pada Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Ella Yulaelawati, tumbuhnya sekolah-rumah sejalan dengan kesadaran dan kesiapan keluarga untuk memberikan layanan pembelajaran bagi anak-anaknya di dalam rumahnya sendiri. Sekolah-rumah merupakan salah satu satuan pendidikan kesetaraan. Pilihan ini merupakan hak orangtua yang dijamin peraturan perundang-undangan, asal melaksanakan pendidikan sejalan dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

"Sebenarnya kita tidak usah saling mempertentangkan antara pendidikan formal dan nonformal. Masing-masing punya segmen khusus. Yang penting bagaimana supaya pembelajaran itu bisa terjadi kapan dan di mana saja, tanpa kendala apa pun. Ini juga untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat," kata Ella.

Akan tetapi, walaupun pendidikan di dalam rumah sebagai pendidikan informal merupakan kewenangan penuh keluarga/ orang tua, dalam rangka menjamin terpenuhinya hak pendidikan dan perkembangan anak, orangtua yang akan menyelenggarakan sekolah-rumah diwajibkan melaporkan kepada pemerintah. Penyelenggara sekolah- rumah tetap perlu mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan, yaitu dinas pendidikan kabupaten/kota setempat.

Di negara tertentu ada juga yang diwajibkan menandatangani kesepakatan antara orang tua dan pemerintah. Intervensi pemerintah ini dilakukan dalam rangka menjamin kualitas layanan pendidikan yang akan diberikan di rumah, sejalan dengan tingkat kompetensi yang harus dicapai anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikutinya. Pemerintah juga memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta yang terdaftar di komunitas belajar.

Agar kegiatan sekolah-rumah bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan komunitas belajar, yaitu mendaftarkan kesiapan orang tua/ keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah/ lingkungan kepada komunitas belajar dan berhimpun dalam satu komunitas. Dengan adanya komunitas seperti ini memudahkan mendata peserta didik sekolah-rumah dan memfasilitasi mereka untuk ikut pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C.

Sebagai lembaga pendidikan alternatif, persekolahan di rumah juga akan mendapat Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal. Semua penyelenggara pendidikan alternatif memang berhak mendapat BOP.

Penutup
Mengapa Mereka Memilih Home schooling?
Homeschooling adalah alternatif pendidikan lain dari organisasi sekolah. Anak belajar dibawah pengawasan orang tuanya. Anak dan orang tua yang akan menentukan isi atau materi pelajaran mereka. Mereka pun memiliki kontrol penuh akan isi pelajarannya. Dan home school bukanlah memindahkan sekolah ke rumah. Kegiatan belajar mengajar agak berbeda dengan di sekolah. Orang tua pun tidak perlu selalu menjadi guru tetapi orang tua lebih berperan sebagai fasilitator. Tujuan pendidikan untuk anak adalah agar membuat anak love to learn, cinta belajar, bukan demi menciptakan anak jenius yang menguasai semua bahan yang diajarkan.

Dan mengapa mereka homeschool? Inilah jawabannya:
To take direct responsility & direct involvement for raising and educating my children. Adanya hubungan yang dekat dengan anak. Jika kita ingat betapa bahagianya melihat anak bisa duduk pertama kalinya, bayangkan jika kita bisa duduk bersama dan mengajarnya membaca sampai dia bisa menyelesaikan sendiri buku pertamanya? Mengapa kita biarkan orang asing mengambil itu dari kita?

Materi pelajaran. Orang tua lebih punya kontrol terhadap apa dan bagaimana satu materi dipelajari. Kurikulum disesuaikan dengan anak-anak, bukan one size fits all tapi tailor made. Di Amerika, untuk higher grade diwajibkan mempelajari Sex Education, salah satunya adalah dengan cara menonton video. Sementara kita tahu bahwa standar norma setiap orang berbeda dalam hal ini, apalagi untuk kita yang orang timur. Akankah kita biarkan orang asing mengajarkan anak kita tentang the bird, the bee and the bun in the oven?

Learning styles. Lebih bisa menyesuaikan gaya mengajar dengan cara belajar anak-anak. Setiap orang memiliki cara berbeda untuk menerima pelajaran. Dengan Home schooling kita bisa sesuaikan dengan gaya belajar anak-anak.

Flexibility. Home schooling memungkinkan keluarga melakukan perjalanan kapan saja dan berapa lama saja tanpa terikat dengan absensi atau ijin sekolah. Bahkan perjalanan pun dapat menjadi ajang belajar.
Agama. Dalam home school group, bukan hanya keluarga muslim saja, tetapi juga orang-orang Kristen, Yahudi, Hindu dan penganut agama lain yang tidak setuju dengan pendidikan sekular di Amerika. Salah satu contoh adalah teori inteligent design (bahwa alam semesta diciptakan Tuhan) dilarang diajarkan di sekolah. Dengan Home schooling waktu untuk mempelajari agama lebih leluasa.

Safety. Dengan Home schooling tidak perlu khawatir dengan bully di sekolah, antar jemput dan satu lagi; berdiri di pagi buta menunggu bus sekolah menjemput. Mereka bisa bangun kapan saja dan saya tidak perlu tergesa menyiapkan bekal sekolah. Kita tidak perlu bahas tentang school shooting atau kejahatan extreem lainnya disini.

Standards and goals. Menentukan standar dan tujuan belajar sesuai dengan kesepakatan keluarga dan tidak harus mengikuti standar dan tujuan yang ditetapkan oleh orang lain (state’s).

Ada banyak lagi alasan lain mengapa mereka melakukan Home schooling (HS), tapi dari semua itu alasan utamanya adalah karena mereka mencintai dan mereka ingin memberi yang terbaik untuk anak-anaknya.*

Zaldy Munir - dikutip dari berbagai sumber

Rabu, 30 April 2008

KEHANCURAN MORALITAS POLITIK INDONESIA

Oleh: Zaldy Munir


Abstrak
Tulisan ini merupakan refleksi dari kegelisahan dan keprihatian Penulis melihat kondisi bangsa yang kini berusia 62 tahun merdeka. Tapi kondisi kehidupan bangsa ini kian carut marut sebagai implikasi dari berbagai tindakan dan prilaku pemimpin baik formal maupun informal dan anggota masyarakat secara umum yang kurang sesuai dengan etika, moralitas, dan norma kehidupan. Sebagai contoh; sekarang ini, banyak pemimpin kita, etika dan hati nuraninya mati. Ekonomi terpuruk akibat mambudayanya korupsi.

Bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor terjadi akibat terjadinya pembalakan liar, perladangan liar, illegal longging serta pembuangan sampah tidak pada tempatnya. Tidak hanya itu, bangsa ini sedang mengalami krisis multi dimensi, mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik hingga moralitas. Berbagai faktor terlihat memprihatinkan, seperti kemiskinan, SDM rendah, masalah disintegrasi, kesenjangan sosial dan sebagainya. Ini semua menjadi agenda permasalahan yang harus segara dibenahi, jika tidak ingin bangsa ini makin terpuruk keadaanya dan mungkin tidak mungkin bangsa ini akan hancur.

NILAI moral bagi manusia menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu. Mengapa? Karana etika, moralitas, dan hati nurani akan terus mengawasi tindakan dan prilaku manusia. Nafsu kebinatangan manusia cendrung mendominasi jika nilai dan hati nurani berjalan tidak berimbang, sehingga nilai baik buruk sulit dipilah secara terinci. Di sinilah etika dan kejernihan hati nurani itu diperlukan.

Tokoh Spritual Hindu Mahatma Gandhi pernah berucap: “Bumi ini cukup untuk melayani keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.” Indonesia termasuk salah satu negara kaya raya. Sayangnya negara kaya-raya itu salah urus. Kesalahan dalam mengurus sebagai salah satu akibat keserakahan yang telah dilembagakan dan disahkan greeded has been institutionalized and legitimised. Korupsi kian menggurita, membudaya, dan seolah tak bertepi lagi. Dari bangun tidur, sampai tidur kembali, seolah tiada ruang hampa tanpa korupsi. Hal ini, tentu terkait dengan budaya bangsa ini. (Jurnal Muqaddimah, November 2006-Mei 2007).

Masalah korupsi kini diembel-embeli istilah baru, yaitu kolusi. Sebenarnya telah lama menjadi isu dan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan bangsa Indonesia. Bahkan, perbincangan masalah ini pernah mengangkat komentar proklamator Bung Hatta pada akhir 1970-an yang mensinyalir kegiatan korupsi di Indonesia telah menjadi budaya yang sulit diberantas. (Media Dakwah, Agustus 1995).

Faisal Bassir, dalam bukunya Etika Politik Pandangan Seorang Politis Muslim (2003:57) mengatakan, “Saat ini, seolah-olah para pejabat negara sulit dijangkau hukum, jika tidak hanya sebuah skenario yang direkayasa akibat mempermainkan hukum. Kejelasan sangsi-sangsi hukum bagi pelaksanaan negara akan mengurangi tindakan pelanggaran hukum, seperti tidak ditaati hukum oleh pejabat di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Masa Reformasi. Akibat dari itu semua merabaknya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Sebagai anak ibu pertiwi menganggap budaya bangsa ini lembek soft. Gunard Myrrdal menyebut Indonesia sebagai bangsa yang lembek soft nation. Menurut Mochtar Lubis, dalam bukunya Transformasi Budaya Untuk Masa Depan (1985:33) mengatakan. “Bahwa negara yang lembek alias lemah itu indikatornya: lemah disiplin, lemah etika, dan moral anggota-anggotanya, korupsi merajalela, disiplin hukum dan undang-undang serta peraturan amat kendur, munafik, erosi nilai berlangsung terus, mudah disogok dan lainnya.”

Lepas dari itu, bila kita melihat sistem politik di era pemerintahan Bung Karno rezim Orde Lama. Politik memainkan peranan yang begitu kuatnya dominasi politik saat itu sampai-sampai seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara bertumpu pada politik jor-joran, perebutan kursi dan kekuasaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Melalui perjuangan panjang di pentas Republik ini, Soekarno akhirnya tampil sebagai primadona, sebagai Penguasa Tunggal. Soekarno terkenal baik di dalam negeri maupun dimanca negara. Soekarno adalah orator ulung, penggagas besar bangsa, pemimpin pesar revolusi dan Panglima Tertinggi Republik Indonesia. Segala kehebatan, kebesaran, dan kekuatan politik berada di tangannya. Ia bebas dan dapat bertindak serta berbuat apa saja. Politik adalah Komando dan Soekarno adalah Panglimanya.

Kebesaran, kehebatan, dan kekuatan menjadi Soekarno takabur. Tidak ada lagi kontrol dalam dirinya, tak ada seorang pun atau satu pun Institusi di Republik ini yang mampu menyatakan NO pada Soekarno. Semua hanya bersuara YESSS.

Nilai ukur, batasan, bahkan sangsi moral tidak berfungsi. Etika bahkan moralitas berpolitik adalah yang kedua. Mungkin tidak perlu, bagi Bung Karno saat itu satu-satunya yang riil adalah POLITIK. Politik merebut ini, politik menggenggam itu, politik adalah yang pertama dan utama.

Akhirnya, Soekarno sendiri terkena badai yang dibuatnya sendiri. Ia harus mundur. Ia diturunkan dari tahta kekuasaannya akibat permainan politik itu sendiri. Rakyak dan mahasisiwa tidak lagi mendukungnya. Tamatlah riwayat rezim Orde Lama dari Bung Karno.

Munculnya Soeharto sebagai Presiden Militer di era 1970-an juga hasil politik intrik-intrik, adu domba dan kekerasan yang hampir seluruhnya mewarnai adegan Orde Baru tersebut. Bagi Soeharto politik bukan lagi primadona, tidak lagi dominan dan malah menjadi sesuatu yang haram. Bersama para teknorak dan pemikir ahli ekonomi dari dunia akedemik, Soeharto membangun Orde Baru yang menggunakan ekonomi dan pembangunan ekonomi sebagai kunci. Rakyat sejahtra, makmur, lahir dan batin itulah impian dan obsesinya. Akan tetapi, dialah rajanya.

Pada masa-masa awal Orde Baru Soeharto membangun pemerintahan yang baik dan berorientasi kerakyatan. “Pada awalnya Soeharto itu baik dan lurus.” Begitu komentar segelincir pejabat tinggi yang berada di sekitarnya pada waktu itu.

Akan tetapi, selama rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, dengan cara pemerintahannya yang otoriter, represif, serta jauh dari iklim demokratis, menimbulkan korban sosial-politik dalam jumlah cukup besar dan mengakibatkan trauma psikologis yang sangat mendalam di benak seluruh rakyat. Perlu dicatat bahwa rezim Orba adalah sejarah kekerasan sosial-politik, sehingga tidak salah jika ada yang menyebut, Indonesia sebagai The Republik of Fear. (Media Indonesia, 26 Januari 2006).

Lebih dari itu, Sukandi A.K dalam karyanya. Politik Kekerasan Orde Baru Akankan Terus Berlanjut? (1999:16), mengatakan. “Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, tercatat ratusan ribu warga Indonesia terbunuh, di samping banyaknya yang menderita fisik, penculikan, dan pemerkosaan. Dan semua itu dimulai ketika Soeharto memegang kekuasaan ABRI. Awal Oktober 1965, sebagai akibat pemberontakan PKI yang gagal, Soeharto berhasil menduduki jabatan menggantikan Panglima Angkatan Darat Jendral A. Yani yang dibunuh PKI.”

Masih Sukandi A.K, (1999:18). “Negara Orde Baru, tidak hanya dibangun di atas ‘bangkai’ pembantaian dan simpatisan PKI, tetapi juga oleh ‘bangkai-bangkai lain.’ Bangkai-bangkai itu mulai dari Tragedi Tanjung Priok, Peristiwa Lampung, SantaCruz Dili, Haw Koneng, Nipah, Peristiwa 27 Juli, Timika, hingga kekerasan-kerusuhan politik kambing hitam, penculikan-penculikan politik, dan penembakan empat mahasiswa Trisakti.

Selain itu, Jefri A Winters dalam bukunya. Dosa-dosa Politik Orde Baru (1999: IX), mengatakan. “Pada masa kekuasaan Soeharto Indonesia berada di bawah suatu sistem kepemimpinan yang meliteristik dan terpusat pada satu individu. Rakyat--yang sebelumnya dipandang sebagai kekuatan politik terpenting dalam proses kemerdekaan Indonesia--diubah sosoknya menjadi kekuatan politik yang paling ‘berbahaya’ dalam masyarakat. Hal ini merupakan idiologis yang sangat penting, dan efeknya masih dirasakan sampai kini.”

Sekali lagi, tidak ada batasan, norma ataupun kontrol pada dirinya. Tak satu pun yang berada di dekatnya berani memprotes atau bernada sumbang dan apalagi berani mengkritiknya, kalau ada yang berani maka ia langsung di masukkan ke dalam penjara. Maka semuanya sepakat dan beramai-ramai bahkan berlomba-lomba menyanyikan koor Setujuuuu. Yang berani melawan didiami, dicuekin, dan dijuhi, dipecat, atau diberhentikan, bahkan dihabisi kariernya. Dan lebih gila lagi, langsung masuk ke sel tahanan atau dibunuh. Itulah nasib yang harus diterima oleh mereka yang berada di dekatnya dan di bawahnya bila berani melawan atau bersuara beda.

Dengan demikian, dari hari kehari sebagai “raja”, Soeharto membangun rezim yang dijiwai oleh koneksi dan nepotisme yang mengandalkan ancaman dan kekuasaan yang mengerikan. Sekali lagi terjadi. Bagi ia tak ada lagi batasan nilai norma, etika, moralitas, dan nurani. Harta dan kekuasaan untuk menjaga adalah segala-galanya. Iklim keserakahan menjadi sesuatu yang lumrah dan wajar.

Akhirnya, setelah memegang tumpuk kekuasaan secara penuh dan utuh dan sesudah dari hari ke hari merasakan nikmatnya kekuasaan, Soeharto pun menjadi seperti Bung Karno. lengser di tengah jalan.

Soeharto, dilengserkan oleh para mahasiswa dan rakyat, karena mahasisiwa dan rakyat sudah ‘gerah’ dengan keberadaannya, tetapi sebenarnya rezim harta dan kekuasaannya menggurita yang telah dibangunnya, tumbang. Karena bebanya sendiri ia menjadi pesakitan hingga hari tuanya. Karena ulah sendiri mengabaikan etika, moralitas, dan nurani.

Muncullah Era Reformasi yang dipelopori oleh Amien Rais yang bercita-cita luhur, memperbaiki nasib dan rakyat Indonesia, tetapi sejak Habibie, Gus Dur, Megawati, dan sampai kepada SBY-JK. Nasib rakyat masih tetap menjadi wacana, masih tetap menjadi cita-cita besar yang tak terjamah.

Keruntuhan rezim Orde Baru tidaklah diperjuangkan oleh partai-partai politik. Namun, keuntungan terbesar justru diraih oleh partai-partai politik yang berkibar dalam transisi. Era yang mestinya menjanjikan banyak perubahan, ternyata disibukan dengan hal-hal yang remah-temah, yaitu pemaksimalan fasilitas bagi kalangan parlemen. Mobil dinas, rumah dinas, sampai hal-hal lainnya sudah menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit. Bahkan, anggaran itu didapatkan dengan cara yang kurang beradap, yaitu utang luar negeri. Disamping itu, partai-partai politik seolah mengerdilkan diri dari dunianya sendiri dengan cara-cara yang kurang santun, yaitu meminta haknya kepada konstituen.

Bukti-bukti konkret sudah terhidang. Partai politik adalah elemen paling korup, sebagaimana survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (Koran Tempo, 17/1/2006). “Partai politik seolah mengubah dirinya menjadi ‘drakula’ yang mengisap darah publik berupa anggaran negara dan dana-dana pihak ketiga. Bukan hanya itu, kinerja wakil-wakil rakyat juga rendah dan bisa dinilai merah. Hanya 14 undang-undang yang disahkan pada 2005, itu pun tidak seluruhnya undang-undang murni karena ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diubah menjadi undang-undang.”

“Hal ini tidak telepas dari transisi partai-partai politik yang belum selesai. Kalangan elit partai politik masih berasal dari kelompok-kelompok yang mendapat kesempatan selama era Orde Baru, serta sedikit sekali yang merupakan bagian dari kelas menegah baru yang memiliki idealisme politik untuk melakukan perubahan. Bahkan, perubahan cendrung merugikan mereka. Banyak partai politik sekarang lebih nyaman dengan kemapanan alias status quo. Pikiran-pikiran jangka pendek menguasai langkah-langkah politik yang mereka lakukan.” (Koran Tempo, 17/1/2006)

Sangat sulit menentukan arah awal dimulainya antisipasi pemberantasan tindak korupsi di negara ini. Kejahatan yang sudah terukur secara terstrukturisasi maupun kejahatan yang telah tersistematis sangat sulit menentukan makna “pemberantasan”. Mungkin yang terjangkau secara preventif hanyalah sekedar meminimalisasi perbuatan koruptif tersebut. Sungguh, manakala kita membicarakan korupsi dalam konteks eliminasi, saat itulah dapat dikatakan korupsi sebagai sesuatu yang beyond the law karena sangat sulit kadar pembuktiannya. Kesulitan pembuktian ini disebabkan oleh multifaktor, antara lain kekuasaan dan kuatnya para economic power. Dapat dikatakan kita telah memposisikan mereka dalam status benyond the law. (Kompas, 7/1/ 2006)

Dengan demikian, hampir tidak ragu lagi, kehancuran moralitas politik di Indonesia merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini sejak bermulanya masa “reformasi” menyusul jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Kehancuran moralitas politik pada masa itu, bisa dilihat dalam berbagai kecendrungan dan indikasi, mulai dari semakin meluasnya tindakan-tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politics, sampai demonstrasi-demonstrasi massa yang tidak memperdulikan moralitas, kemudian bukan tidak sering out of control berubah menjadi anarki.

Bahkan, hukum politik, ekonomi dan sosial budaya berjalan ditempat tanpa sedikit pun perbaikan. Bagi rakyat kecil sampai pejabat yang paling tinggi di negeri ini, hukum tidak ada artinya. Pengadilan berjalan di luar batasan keadilan, hakim, jaksa, polisi dan aparat negara bisa meminta uang dan menerima tanpa perlu marasa bersalah.

Tidak ada lagi batasan. Tidak ada lagi nilai. Tidak ada lagi kontrol. Bahkan, tidak ada lagi moralitas. Mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang halal dan mana yang haram. Bahkan, kekerasan membiasa dan muncul dari pagi sampai malam, di depan mata kita melalui media surat kabar, televisi mau pun internet. Semuanya terbuka, telanjang hadir di depan mata kita, anak-anak kita, dan keluarga kita. film, musik, lagu, majalah, dan buku-buku terbitan tanpa sensor apa pun juga. Tayangan di televisi-televisi kita, yang bernada satu dan terus berulang saja bisa menyebabkan dekadensi moral.

Etika apalagi, moralitas dan bahkan nurani sudah tak berarti apa-apa. Nihil. Yang penting adalah UANG. Kekuasaan dan kehormatan dapat dibeli dengan UANG. Untuk memeroleh jabatan bahkan untuk menjadi Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur. Bahkan, Presiden sekalipun, diperlukan UANG, sisanya tidak peduli. Kalau sudah begini mungkin UANG akan memelancar segala macam bentuk kamaksiatan dan kejahatan di negara ini.

Belajar dari Pengalaman
Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, kehancuran sistem politik, moralitas, dan ditambah dengan bencana alam, seperti tsunami, tanah longsong, banjir, dan berita masalah peredaran formalin, flu burung dan sebagainya. Selain itu, Indonesia tidak hanya menyandang predikat sebagai negara koruptor harta terbesar di dunia, tatapi juga negara koruptor, sejarah paling sadis di muka bumi ini.

Di samping itu, “Apakah Kemerdekaan Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, apakah itu suatu kemerdekaan?” Tidak !!!, melainkan kemerdekaan semu saja. Memang kalau dilihat dari segi fisik bangsa Indenesia telah merdeka, tetapi kalau di lihat dari segi moralitas, akhlak, akidah masih terjajah. Tak heran kalau kita melihat tingkah laku Wakil rakyat di negeri hanya mementingkan dirinya sendiri.

Politik umat merdeka bukan politik yang diperbudak oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal aturan Iman dan Tauhid. Kehidupan ekonomi merdeka tidak boleh didominasi model perekonomian yang tidak berpihak kepada nilai-nilai religius. Hidup bersosial bangsa kita jangan sampai dibimbing oleh konsep sosial ‘model setan’. Peradaban bangsa yang merdeka tidak pernah ‘membebek’ kepada peradaban lain yang meskipun modern tapi jahiliyah.

Sudah saatnya kita mengubah cara dan gaya hidup foya-foya dan penampilan hedonis yang tak pernah dikenal oleh para pahlawan bangsa dan negara saat mereka megobarkan semangat “jihad” dan mengumandangkan “Allahu Akbar!” (Sabili, 24 September 2004)

Faisal Baasir dalam karangannya, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim (2003:33-34), berpendapat. “Dalam membangun bangsa ini, yaitu kita belajar dari pengalaman. Dari dua rezim yang pernah ada, Orde Lama dan Orde Baru, pembentukan sebuah etika berbangsa dan bernegara atau apa pun namanya yang dilakukan oleh eksekutif tidak lain tujuannya untuk memperkuat satatus quo. Untuk itu, sudah saatnya diperlukan lembaga yang mewakili kedaulatan rakyat untuk merumuskan etika berbangsa dan bernegara secara lebih arif tanpa memilki pretensi pelanggengan rezim.”

Masih Faisal Baasir. “Sudah seharusnya etika berbangsa dan bernegara dibuat dalam desain guna membangun bangsa dan negara Indoesia ke depan yang lebih beradab dan bermatabat. Mengingat carut-marutnya Republik ini adalah akibat langsung dari tidak adanya pedoman yang jelas yang mengatur tentang etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Faisal Baasir menegaskan. “Untuk itu, masalah yang mendesak sekarang ini selain membentuk kode etik berbangsa dan bernegara secara lebih dinamis, yaitu dengan memperhatikan visi Indonesia ke depan, dan kode etika itu dapat diterima semua kelompok budaya, agama dan golongan. Dengan demikian, etika tersebut tidak hanya dapat menjadi acuan bagi setiap pengambilan keputusan publik, tetapi juga menjadi pedoman publik di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Merevitalitas dan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai UUD 1945 (yang telah disesuaikan/diamandeman), dan semangat Proklamasi 1945 adalah suatu keharusan yang mendesak, dan wajib untuk dilaksanakan.”

Pendek kata, perenungan ulang terhadap proses ulang terhadap proses perjalanan dan pembangunan bangsa selama ini akan membuat kita lebih arif memahami kegagalan dan keberhasilan, kita akan bersedia melakukan koreksi diri untuk kebaikan bersama. Selain itu, salah satu agenda pembenahan yang penting adalah para pemimpin. Sebab, di tangan merekalah segala kebijakan yang dihasilkan dan akibatnya pasti pada rakyat. Merekalah pemegang kekuasaan yang akan menghitam putihkan bangsa ini. ***

Jumat, 25 April 2008

INTROPEKSI DI BALIK BENCANA

Oleh: Zaldy Munir


Belum lama berselang bangsa ini berdarai air mata atas berbagai macam bencana yang datang. Bencana yang melanda bangsa ini seakan tak henti-hentinya, dan duka itu kembali menyapa, seolah datang silih berganti.

Kemarin dan hari ini menjadi hari-hari duka kita bersama. Esok dan hari-hari berikutnya bukan tidak mungkin menjadi hari-hari kelabu. Hampir sepanjang tiga tahun kita dirundung kemalangan beruntun. Bencana itu mulai dari Tsunami 26 Desember 2004 silam, berdekatan dengan megabencana Acah, di Indonesia terjadi pula beberapa gempa yang mengakibatkan kematian ribuan orang, seperti di Nias, Nabire, Padang Panjang (Sumbar), Alor (NTT), dan di tempat-tempat lain. Di samping gempa, banjir, dan longsor pun telah menerjang berbagai wilayah Indonesia dalam dua tahun terakhir dan menewaskan ribuan orang. Tidak hanya itu, gempa bumi yang mengguncang wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gempa tektonik yang cukup dahsyat itu terjadi Sabtu (27/5) pagi sekitar pukul 05.54 WIB dengan kekuatan 5,9 skala richter.

Selain itu, bencana rupanya tak henti mengganggu bangsa ini. Hanya beberapa hari setelah gempa Yogya-Jateng yang menewaskan banyak orang, kini muncul bencana lain yang bisa mengancam nyawa ribuan orang. Bencana kali ini adalah semburan gas campur asap di Siduarjo. Bencana yang muncul sejak 31 Mei di Porong, Sidoarjo, Jatim, akibat kesalahan “teknis” PT Lapindo Brantas yang melakukan pengeboran gas kini makin membahayakan warga masyarakat Jawa Timur. Semburan lumpur panas yang setiap hari mencapai 5.000 meter kubik itu, tidak hanya mengganggu kelancaran arus lalu lintas di jalan tol Surabaya-Gempol. Bahkan, pada hari Ahad (11/6), jalan tol yang jadi urat nadi ekonomi Jawa Timur itu ditutup total akibat genangan lumpur panas tersebut.

Waktu merayap pelan, tahun pun berganti masa, dan musibah pun tak henti-hentinya kembali menyapa. Pada tahun 2007 bencana rupanya tak henti mengganggu. Mulai dari tenggelamnya KM Senopati Nusantara, hilangnya pesawat Adam Air di Sulewesi Selatan, banjir bandang di Jakarta, longsong di Manggarai, gempa di Sumatra Barat, tenggelamnya kapal Lavina I, sampai terbakarnya pesawat Garuda Indonesia di Yogyakarta. Kebijakan koversi bahan bakar minyak tanah ke penggunaan gas saat ini membuat rakyat kecil menjerit. Gempa di Bengkulu berkekuatan 7,9 skala richter, pada hari Kamis (13/9) Padang dan Jambi dilanda gempa berkekuatan 7,7 skala richter. Data yang diperoleh Kompas, (14/9). Korban tewas tercatat 10 orang : 2 di kota Bengkulu, 5 di kebupaten Mukomuko, dan 3 di kabupaten Bengkulu Utara. Di Padang, Sumatra Barat, tercatat 4 orang tewas meski 3 orang yang terakhir lebih dampak tidak langsung.

Rangkaian musibah dan bencana yang kita sebut di atas hanya sebagian kecil dari bilangan besar musibah dan bencana lainnya yang terjadi di bangsa ini. Selebihnya masih banyak lagi. Bukankah bencana yang terjadi diakibatkan oleh tangan-tangan manusia itu sendiri? Sebagai contoh; wabah kemiskinan dan kelaparan di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah ruah akibatnya kekayaan tersebut diserahkan kepada pihak asing, merajalelanya kemasiatan dan kriminalitas akibat hukum-hukum Allah tidak dilaksanakan, banjir yang diakibatkan oleh penebangan hutan secara liar, tanpa disertai penanaman bibit pohon baru sehingga hujan deras tidak bisa diserap bumi dan akhirnya membentuk aliran-aliran air yang besar yang meluluhlantakkan sebuah desa atau pun kota. Allah SWT berfirman: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa-apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri ...” (QS. An-nisa [4] : 79).

Mengambil pelajaran dari berbagai kejadian
Umat terdahulu telah mengalami begitu banyak bencana alam yang dahsyat diakibatkan mereka menolak kebenaran dan tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah dan tidak pula menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemaksiatan dan kedurhakaan menjadi sesuatu yang sangat digemari. Orang-orang yang berkuasa berbuat zalim, sedangkan rakyat jelata berpaling dari kebenaran. Yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan, sehingga datanglah teguran dan kemurkaan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. (QS. Yunus [10] : 13).

Selain itu, marilah kita menoleh kepada apa yang terjadi di zaman nabi terdahulu, di antaranya Nabi Nuh as. Nabi Nuh as berdakwah di tengah kaumnya yang ingkar kepadanya, namun hanya sedikit sekali yang mau mengikuti seruannya untuk mentauhidkan Allah. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-A’raf [7] : 59-60).

Lalu setelah umatnya menentangnya dan tidak mengindahkan seruan dakwahnya, Allah SWT berfirman: “Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)” (QS. Al-A’raf [7] : 64).

Maka jelaslah bagi kita bahwa ayat-ayat Alquran telah menjelaskan begitu banyak peristwa, dan hendaknya kita mau mengambil pelajaran di dalamnya. Janganlah kita menjadi kaum yang dikecam Allah SWT dalam Alquran, yaitu kaum yang tidak mau mengindahkan peringatan-peringatan yang telah terjadi dan pasti dapat berulang kembali kejadiannya di tempat berbeda dan umat yang berbeda pula akibat kelalaian dan mempermainkan ayat-ayat Allah SWT.

Sementara di tengah kita saat ini, berbagai kekufuran dan keingkaran pun telah dilakukan umat manusia. Dosa-dosa dan kemaksiatan bertebaran di tengah masyarakat dan dilazimkan oleh generasi penerusnya, sehinggga seruan agama tidak dihiraukan. Agama mulai jadi bahan olok-olokan, senda-gurauan dan bahkan ada pula yang lantang menetang kesucian Islam, memelintir ayat-ayat Alquran, menyerang keyakinan umat Islam dengan segala pemikiran-pemikiran yang diada-adakan. Bahkan, sejumlah media menyiarkan turut pula menjadi corong kemaksiatan, corong propaganda kerusakan moral dan akhlak. Seruan dakwah dilawan sebagaimana menghadapi musuh besar, padahal dakwah amar ma’ruf nahi munkar betujuan salah satunya menjauhkan manusia dari liang kehancuran dan menyelamatkan manusia dari kemurkaan Allah SWT.

Janganlah sampai kita menghadapi apa yang Allah SWT ingatkan dalam firman-Nya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6] : 44).

Sikap kita
Dalam menyikapi semua bencana yang belanda bangsa ini. Seyogyanya kita menyadari betapa manusia ini sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan-Nya. Sepandai apa pun terpaksa harus mengakui “kekecilan”-Nya di hadapan Rabb Pencipta Alam Semesta. Dengan bencana ini, Allah sebenarnya hendak menguji kesabaran manusia. “Kami pasti akan menguji kalian dengan sesuatu berupa: ketakutan, kelaparan, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang jika ditimpa musibah maka mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali). (QS. Al-Baqarah [2] : 155-156).

Sebagai manusia religius kita seharusnya mutlak membuka kesadaran bahwa Allah telah memberi peringatan kepada bangsa ini. Tidak mungkin bangsa ini dirundung musibah dan bencana tanpa henti sepanjang hampir tiga tahun kalau tidak ada musabab-nya. Pasti ada yang salah dengan perilaku dan tindakan kita. Allah telah menegur kita, tetapi tampaknya kita masa bodoh untuk memperbaiki perilaku negatif tersebut.

Dengan demikian, marilah kita tinggkatkan kualitas keimanan, bertaubat, serta kembali secara totalitas pada hukum Allah, yaitu Back to Alquran and Sunnah, dengan kembali melaksanakan seluruh syariat-Nya dalam kehidupan ini. Sebab, dengan adanya bencana ini, Allah memang menghendaki agar manusia mau kembali kejalan-Nya. Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang banar).” (Surat Ar-rum [30] : 41).

Singkat cerita, marilah kita jadikan bencana yang bertubi-tubi mendera bangsa ini sebagai refleksi untuk mengevaluasi diri dan merevisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga di masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara negeri ini bisa selaras dengan alam dan tuntunan Ilahi. Semua pihak hendaknya melakukan intropeksi, demi kebaikan dan kebahagiaan bersama. Dan cukuplah becana demi bencana yang beruntun menimpa bumi pertiwi ini menyadarkan kita akan keteledoran dan keserakasan kita akan dunia. Bencana yang melanda bangsa ini sebagai peringatan keras dari Allah SWT agar kita semua kembali kepada jalan yang benar.***

Ket : Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mimbar Ulama. No. 340 Rabiul Awwal 1428 H / Maret 2007).

SULITNYA PEJABAT NEGARA DIJANGKAU HUKUM

Oleh: Zaldy Munir


KELEMAHAN kita selama ini terletak pada tidak ditaatinya hukum sebagaimana mestinya, dan kurang dipahami persamaan hak di bawah hukum bagi setiap warga negara, tidak terkecuali para pejabat negara. Adanya ketentuan hukum yang jelas di dalam konstitusi akan menjamin adanya tertib hukum law onder di dalam masyarakat dan negara.

Bahkan saat ini, seolah-olah para pejabat negara sulit dijangkau hukum, jika tidak hanya sebuah skenario yang direkayasa akibat mempermainkan hukum. Kejelasan sangsi-sangsi hukum bagi pelaksanaan negara akan mengurangi tindakan pelanggaran hukum, seperti tidak ditaati hukum oleh pejabat di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Masa Reformasi. Akibat dari itu semua adalah merabaknya Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih dari itu, hukum di negeri ini berjalan di tempat tanpa sedikit pun perbaikan. Bagi pejabat negara, hukum tidak ada artinya. Pengadilan berjalan di luar batasan keadilan, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Aparat negara bisa meminta UANG dan menerima tanpa perlu marasa bersalah. Inilah hukum di Indonesia hanya berpihak bagi mereka yang berkantong TEBAL.

Negara hukum adalah untuk menjamin posisi negara yang netral tidak berpihak dan berdiri di atas semua golongan dan mengabdi kepada kepentingan rakyat. Konsep negara hukum ini berdasarkan atas tujuan memberikan perlindungan hukum kepada rakyat. Satu segi proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diistilahkan dengan law eforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakaanya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.

Hukum yang benar adalah hukum yang diangkat dari norma-norma hidup masyarakat. Walaupun demikian, kalau penegak hukum dijalankan tanpa mengidahkan kaidah-kaidah penegakan hukum, maka rasa keadilan rakyat Indonesia akan terganggu dan tujuan hukum tidak akan tercapai.***

REMAJA DAN HIV / AIDS

Oleh: Zaldy Munir


HUMAN Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency (HIV / AIDS) merupakan fenomena gunung es iceberg phenomenon. Virus yang pertama kali ditemukan di Amerika Serikat tahun 1981, dan di Indonesia tahun 1984. Penyakit akibat penyakit menular seksual (PMS), cara penularan antara lain : (1) hubungan kelamin homoseksual maupun heteroseksual, (2) ibu kepada bayi--selama atau sesudah kehamilan, (3) tansfusi darah dan lainnya.

Penyakit yang belum ditemukan obatnya, merusak imunitas tubuh penderitanya. Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri pada hari peringatan Hari Keluarga Nasional 2003 silam menegaskan. Bangsa ini menghadapi masalah meningkatnya jumlah anak muda yang terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA, semakin tinggi penderita HIV / AIDS akibat penggunaan jarum suntik secara bersama-sama. Patut disayangkan memang peredaran pil setan itu tidak lagi mengenal batas.

Menurut data PBB yang mengurus masalah HIV / AIDS (UNAIDS) dalam bukunya “Who AIDS Epidemic Up date 2004” mencatat sekitar 39,4 juta orang yang terinfeksi HIV /AIDS, sekitar 8,2 juta ODHA dan 2,3 juta orang adalah perempuan. Data penderita di Indonesia sekitar 5701 orang, 2.363 terkena AIDS dan 3.338 terkena HIV. Direktorat PPM-PLP Departemen Kesehatan RI 31 Desember 2002 bahwa kasusus HIV /AIDS di Indonesia tercatat sebanyak 3.568 kasus. Jumlah kasus HIV / AIDS berdasarkan tingkat usia didominasi usia remaja dengan 1222 kasus atau sekitar 50 persen.

Usia 20-29 tahun merupakan usia yang peling rentan terhadap virus HIV / AIDS. Penyakit yang bermula akibat memudarnya nilai moral dan agama dianggap penangkal berbagai penyimpangan. Generasi muda yang ketergantungan NARKOBA melalui jarum suntik rawan terkena HIV / AIDS cukup besar.

Dadang Hawari mengutip hasil penelitian Natoinal Centre for Health Statistic (1289) melihat realitas remaja, antara lain : pertama, satu dari lima remaja putri usia 15-19 tahun menjadi hamil di luar nikah; kedua, mereka (remaja putri dan putra) beresiko kena HIV 7:1 dan orang dewasanya 12:19; ketiga, remaja putri yang terlibat hubungan seks gelap umumnya dengan pria dewasa berpengalaman; keempat, 25 persen remaja putri berpenyakit kelamin; kelima, 65 persen terlibat anal seks; dan keenam, 74 persennya free sex.

Laporan Departeman Kesehartan tahun 2002 diketahui sebanyak 38 persen penderita HIV / AIDS tertular melalui alat suntik yang digunakan secara bersama-sama. Sebagian lainnya berpendapat bahwa NAPZA dan HIV / AIDS merupakan awan kelabu bagi masa depan kemanusiaan. Salah satu faktor pendorong percepatan kasus HIV /AIDS adalah kurangnya pendidikan dan latihan bagi gadis-gadis, membuat mereka mudah terjerumus ke perjakaan yang berkaitan dengan seks.

Sungguh beragam gejala sosial-budaya termasuk style life berupa free love. Free sex, biseksual, homoseksual dan lainnya. Kaum homo dan gay malah mendesak senat (DPR) untuk mengesahkan Undang-Undang yang mengakui keberadaannya. Era nabi Luth dan nabi Nuh seolah muncul di era globalosasi ini. Style life yang menyimpang ini akan membawa bencana kehidupan anak remaja di dunia.

Penyakit HIV /AIDS merupakan penyakit akibat seks bebas free sex, yang tadinnya dianggap penyakit “Kutukan”, tetapi stigma itu sedikit demi sedikit mulai berkurang. Penyakit yang menghancurkan kekebelan imunitas tubuh ini akibat terjadinya PMS lain. Resiko penularan akibat terinfeksi melalui kontak homoseksual dan penggunaan obat bius, sedangkan di Afrika Tengah dan Haiti sumber penularan melakui pekerja seks sex woeker melalui kontak heteroseksual. Hasil penelitian melaporkan bahwa 90 WTS, yang terinfeksi HIV sebanyak 66 persen kelas ekonomi rendah, dan 31 persen WTS kelas tinggi.

Penanggulangan penyakit yang satu ini dapat dilakukan melalui sisi moral dan sisi penyakitnya. Dari sisi moral mengaitkan salah satu sebab utama perzinahan dan prilaku seks yang menyimpang sex devient, misalnya homoseks. Sedangkan sisi moral maupun sisi penyakit. Alquran memperingati manusia untuk tidak mendekati zina “La Taqrabuzzina.” ***

STOP KEKERASAN PADA ANAK. JANGAN JADIKAN ANAK SEBAGAI TUMBAL DALAM KELUARGA

Oleh : Zaldy Munir


KEKERASAN seakan sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kesehariah kita, dalam menjalani rutinitas sehari-hari banyak kita melihat tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi. Tidaklah heran, karena setiap hari kita selalu "dicekoki" oleh berbagai tayangan kekerasan melalui media televisi, surat kabar, dan majalah. Bagi mereka kekerasan merupakan berita yang tidak kalah penting dari berita lainnya. Praktik kekerasan dalam tatanan idiologis sampai yang paling prakmatis sekalipun merupakan realitas keseharian yang kita alami terlebih-lebih di kota-kota besar.

Acap kali kita menyaksikan beragam kekerasan pada anak di dalam keluarga, seperti memukul, menyiksa dan mengurungnya di dalam kamar mandi tanpa memberinya makan. Bahkan, yang lebih ironisnya lagi, ada juga anak yang menjadi pelampiasan kemarahan orang tuanya, anak sebagai "alat balas dendam" untuk meluapkan kekesalan dan kemarahannya. Entahlah, apa yang mendorong para orang tua untuk berbuat kejam kepada anak-anaknya.

Kurang harmonisnya hubungan anak dan orang tua akibat sikap otoriter atau sikap hitam-putih misalnya, merupakan sikap yang akan menciptakan suasana yang tidak dialogis dan komunikatif. Sikap seperti ini, bila terus terjadi akan memunculkan rumah tangga yang broken home. Anak-anak tidak kerasan tinggal di rumah, rumah dianggap "neraka", sehingga lambat laun, pasti akan memunculkan sikap penyimpanngan bagi anak tersebut. Dalam kondisi seperti ini, anak-anak semakin rawan dengan berbagai perilaku kejahatan.

Orang tua yang hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhan jasmaniyahnya saja adalah hal yang sangat keliru. Di massa yang semakin mengglobal, yang ditandai semakin terbukanya informasi dan komunikasi canggih dewasa ini, maka kebutuhan-kebutuhan jasmaniyah dan materil seperti itu tidaklah cukup. Dalam kondisi dewasa ini, orang tua seyogyanya memberikan lebih banyak waktu kepada anak-anaknya untuk diberikan kasih sayang, pendidikan dan suasana yang harmonis serta komuniktif. Suasana seperti ini pada gilirannya akan menciptakan suasana keterbukaan di antara kedua pihak, baik anak maupun orang tua.

Di dalam mendidik anak, orang tua seyogyanya dapat memahami perkembangan pada anaknya, entah itu dari segi fisiologis ataupun psikologis. Masa anak-anak dimulai pada massa bayi sampai saat anak matang secara seksual. Jadi, mulai sekitar umur 2 tahun sampai sekitar umur 11-14 tahun.

Pada umur 2-14 tahun, Prof. Dr. Hj. Zakariah Darajat dalam bukunya Kesehatan Mental (1990:16) menyatakan, pada massa ini anak sangat sensitif, ia sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang sungguh-sungguh. Pada massa ini anak-anak ingin pula mengenal alam sekelilingnya, dengan meraba, mencium, dan bertanya. Lingkungan si anak pada umur ini telah agak meluas, meskipun masih berpusat pada ibu-bapaknya.

Di samping itu, hal senada dikemukakan oleh Prof. Dr. Ny. Y. Singgih Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa dalam bukunya Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga (1995:9). Pada massa ini anak kelihatan berprilaku agresif, memberontak, menentang keinginan orang lain, khususnya orang tua. Pada usia ini sikap menentang dan agresif sering dikaitkan dengan massa tumbuhnya "kemandirian". Sikap "kepala batu" dalam menentang bisa berubah kembali jika orang tua, pendidik menunjukan sikap konsisten dalam memperlihatkan kewibawaan dan peraturan yang telah ditetapkan.

Prof. Dr. Hj. Zakariah Darajat (1990:100) menambahkan. Karena massa anak-anak adalah massa yang sangat sensitif dan massa meniru, maka pendidikan haruslah berupa menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, belajar menolong diri sendiri waktu makan, memakai baju, kebiasaan kebelakang (ke kamarmandi), tidur dan sebagainya.

Kebiasaan-kebiasaan itu jangan lupa merupakan paksaan yang mengikat, tetapi biasakanlah dengan cara-cara yang menimbulkan keinginan padanya. Mungkin akan banyak sekali terlihat oleh si ibu hal-hal yang kurang menyenangkan, umpamanya memasukkan ke mulut apa saja yang ditemuinya. Jangan dibentak, karena ia ingin tahu. Dan harus diingatkan bahwa anak-anak belum mempunyai pengertian yang banyak tentang bahasa.

Sikap orang tua dalam mendidik anak
1. Sikap otoriter
Sikap otoriter kepada anak, boleh-boleh saja asalkan bisa menempatkan pada tempatnya, yaitu sesuai situasi dan kondisi yang ada. Sikap otoriter yang terlalu berlebih-lebihan kepada anak akan berdampak buruk bagi perkembagan fisiologis ataupun psikologis.

Seperti si anak menjadi penakut, si anak sengaja menghabiskan sisa waktunya di luar rumah dan mamilih pulang terlambat. Bahkan, bisa kemungkinan beralih ke narkoba supaya mendapatkan ketenangan jiwa bagi si anak. Ia merasa perlu mencari ketenangan dengan berkumpul bersama teman-temannya yang biasanya berusia lebih tua dari dirinya.

Menghadapi sikap otoriter, Syaik M. Jamaluddin Mahfuzh dalam karangannya Psikologi Anak dan Remaja Muslim (2001:78). Membagi menjadi dua. Pertama, bantuk otoriter yang mungkin memang sudah sejak awal. Seorang ayah yang punya sikap otoriter ini ia tidak punya rasa cinta kepada anak-anaknya. Dan menurut istilah Bouldwin, otoriter seperti itu disebut "otoriter permanen." Upaya menundukan sikap seperti ini berarti menundukan kaidah-kaidah perilaku yang sangat ekstrim dan radikal. Kedua, bentuk otoriter yang tidak mau kompromi dengan keinginan-keinginan anak.

Jamaluddin Mahfuzh (2001:79) menegaskan. Dari rumah tangga yang terlalu otoriter tersebut, akan menghasilkan anak yang tidak bisa beradaptasi, yang cenderung menghabiskan waktunya di luar rumah. Dan jika si anak tadi seorang perempuan, mungkin ia akan menikah dalam usia yang sangat muda dan dengan pasangan suami yang tidak sepadan, karena ia yakin, bahwa rumah yang akan ia tempati nanti jauh lebih baik daripada rumahnya yang sekarang.

2. Sikap demokratis
Model rumah tangga seperti ini dianggap sebagai salah satu faktor bagi terciptanya adaptasi yang baik. Aturan di rumah tangga seperti ini berdasarkan pada kebebasan dan demokrasi. Kedua orang tua sama-sama mau menghormati anaknya sebagai individu yang utuh lahir batin. Dalam mengarahkannya, mereka tidak bersikap otoriter sedikit pun.

Orang tua yang demokratis, sedapat mungkin mereka akan berusaha memberikan semua yang diketahui dan dibutuhkan oleh anak mereka yang sudah bekerja, supaya ia bisa mengambil keputusan setelah cukup mengetahui kemungkinan dan hasilnya. Cara-cara ini sengaja memberikan kepada seorang anak "kebebasan" yang bertambah, pilihan yang luas, dan pengetahuan-pengetahuan yang banyak.

Seorang anak yang hidup di lingkungan rumah tangga yang demokratis ini, ia memiliki kesempatan sangat baik untuk mengupayakan "kemerdekaannya". Pada prinsipnya, rumah tangga yang demokratis bisa terwujud dengan cara sebagai berikut.

1. Menghormati pribadi anak dalam rumah tangga.

2. Berusaha mengembangkan kepribadiannya, menganggapnya sebagai pribadi unggulan yang memiliki kemampuan dan kecendrungan-kecendrungan tersendiri, dan harus memberinya kesempatan untuk berkembang sejauh mungkin.

Memberikan kepada si anak "kebebasan" berpikir, berekspresi dan memilih jenis pekerjaan. Tentu saja dalam batas-batas kebaikan bersama dan tujuan yang bersifat umum. Artinya, kebebasan yang berlaku dalam rumah tangga adalah kebebasan yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sosial. Warna sistem yang ada di dalam rumah tangga yang demokratis ini sangat berbeda dengan warna aturan yang ada di dalam rumah tangga otoriter yang kental dengan warna kekerasan, ketakutan, dan pelarangan. Sementara dalam keluarga yang demokratis kental dengan warna kebersamaan, dinamika yang positif dan terus bergerak, kasih sayang, serta saling membantu.

Jamaluddin Mahfuzh (2001:80-81) menambahkan. Pola-pola diterapkan dalam rumah tangga yang demokratis akan mendorong lahirnya sosok-sosok anak yang sanggup memikul beban dan tanggung jawab kehidupan, anak-anak ideal yang mampu berpikir secara sehat, mau saling menolong, dan bangkit bersama-sama dengan masyarakat. Tujuan-tujuan mulia tersebut hanya akan terwujud oleh rumah tangga yang beriklim nuansa demokratis yang sehat, dan didukung oleh pengertian individu-individu yang mendambakan kehidupan sosial yang harmonis.

3. Sikap toleran
Para pakar menjelaskan, bahwa rumah tangga yang menerapkan pola-pola yang didasarkan pada sikap toleran yang berlebihan, bisa menyulitkan seorang anak baik laki-laki maupun perempuan untuk mengembangkan perilaku kebebasannya.

Seorang anak yang diperlakukan seperti itu, ia akan menemukan banyak kesulitan dalam beradaptasi dengan dunia luar. Perhatian orang tua yang berlebihan akan mendorong si anak mencari perhatian dan bantuan kepada orang lain. Dan jika hal itu sudah menjadi kebiasaan, tanpa sadar ia akan merasa itu adalah haknya. Akibatnya, kita lihat ia jadi sering keluar rumah untuk keperluan tersebut.

Dr. Kartini Kartono dalam karyanya Hygiene Mental (2000:71) menjelaskan. Karena kasih-sayang orang tua yang melimpah-ruah kepada anaknya, di samping itu anak terlalu banyak dilindungi dan dihindarkan dari macam-macam kesulitan hidup sehari-hari dengan jalan selalu menolongnya, maka pada umumnya anak menjadi tidak mampu berdiri sendiri; dan tidak bisa mandiri atau "zelfstanding". Anak selalu dalam keragu-raguan dan ketakutan. Rasa harga dirinya kurang tumbuh. Dan selalu merasa tidak percaya pada kemampuan sendiri.

Jika tidak ada orang tua di dekatnya, anak merasa lemah hati, hambar semangatnya, dan takut secara berlebih-lebuhan. Biasanya anak-anak sedemikian ini menjadi penakut, munafik atau anak patuh yang tidak wajar yang tidak pada tempatnya. Mereka menjadi penurut yang ekstrim tanpa memiliki kemampuan dan inisiatif sedikit pun juga; kurang beranai berpikir mandiri, dan tidak berani berbuat apa-apa tanpa dorongan orang tuanya. Mental dan kemauannya menjadi rapuh, lunak, lembek dan lemah sekali (menjadi "weakling", si lemah hati).

Cinta keluarga merupakan impian dan dambaan semua
Keluarga merupakan unit terkecil dalam membangun massa depan bangsa. Sweet family akan melahirkan generasi yang imut-imut, manis-manis dan pintar-pintar menuju kehidupan yang lebih baik. Keluarga berantakan broken home juga akan melahirkan generasi yang kurang bahagia. Pada bagian lain, banyak orang tua yang lebih memburu kesengan semu-pseudo pleasure yang memperturutkan nafsu kebinatangan. Keluarga modern ini, selalu bersaing dalam perlombaan ‘memburu' materi dan harta benda yang hampir tidak mengenal batas terkadang melupakan nilai spiritualitas. (Hajjah Bainar, Membantu Remaja menyelami Dunia Dengan Iman dan Ilmu [2005:20])

Sikap cinta keluarga merupakan impian dan dambaan semua, persoalan yang menimpa keluarga modern. Tugas keluarga cukup besar, yaitu mendidik anak yang cerdas dan berkualitas merupakan barometer kamajuan bangsa ke depan. Untuk itu, membangun anak yang cerdas dan berkualitas harus dimulai sedini mungkin termasuk mensosialisasikan nilai dan norma yang positif. Harmonisasi keluarga itu harus dilandasi nilai agama dan budaya dalam masyarakat. Anak-anak pun dibiasakan mengungkapkan pandangan dan kebebasan untuk menyampaikan hal-hal yang terbaik sebagai bentuk keluarga yang demokratis. Artinya, anak-anak dibiasakan untuk menghormati dan mau menerima pendapat orang lain. ***

Ket : Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mimbar Ulama. No. 334 Ramadhan 1427 H / September 2006 M